Sunday, October 05, 2008

IDEALISME ANTI-KORUPSI

Oleh Ruli Mustafa
The LAFIDZI Center

Semangat masyarakat kita dalam menyikapi korupsi tampak dengan maraknya bentuk gerakan anti-korupsi dewasa ini. Malah sangat boleh jadi akan menjadi semacam “ euphoria” massa, Berbagai tipologi korupsi dan manipulasi dana pembangunan, utamanya yang dilakukan oleh oknum aparat negara baik di pusat maupun daerah kian berani diungkap ke permukaan oleh mereka yang menyebut kelompoknya sebagai pihak yang mengatasnamakan masyarakat, meskipun patut dipertanyakan pula “masyarakat” mana yang mereka wakili. Gerakan moral ini tentu saja wajar dan sah-sah saja, terlebih bila kita melihat begitu semangatnya pemerintahan SBY mengusung agenda pemberantasan korups, Berdirinya Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) menjadi badan yang kini “lumayan” ditakuti para koruptor. Para pejabat di jajaran Kejaksaan juga tak kurang “galak” dalam menelusuri dugaan korupsi di berbagai instansi, baik pusat dan daerah. Maka kita melihat semakin banyak pula oknum pejabat yang meringkuk di tahanan kejaksaan, menunggu proses pengadilan. Mudah-mudahan saja hal ini menjadi sinyal positif bagi kesungguhan pemerintahan sekarang untuk secara nyata memberantas korupsi.

Namun disisi lain kita justru seakan kurang tanggap terhadap munculnya gerakan-gerakan masyarakat yang melakukan penentangan terhadap korupsi. Kelompok mahasiswa, para politisi, ormas dan yang ramai adalah berdirinya LSM-LSM yang baru yang begitu bersemangat melakukan pressure terhadap pemerintah, wakil rakyat bahkan kepada para penegak hukum untuk secara cepat mengadili para tersangka koruptor. Ketika reformasi digulirkan di penghujung tahun 90-an, kita menyaksikan “semangat” yang nyaris sama dengan munculnya gerakan anti-korupsi dewasa ini, Ketika dulu, pada awal digelindingkannya isu reformasi, semua pihak tampak tidak ingin ketinggalan untuk bisa disebut sebagai pelopor bahkan pahlawan reformasi, beragam jargon politikpun diusung untuk menegaskan identitas kelompoknya. namun dalam perjalanan waktu tidak jarang sebagian mereka justru menjadi pahlawan kesiangan kalau tak ingin dikatakan malahan mengkhianati cita-cita reformasi. Atau tidak sedikit yang melakukan tindakan “kebablasan” dalam reformasi sehingga yang muncul kemudian adalah tindakan-tindakan di luar kerangka demokratisasi bahkan cenderung anarkis. Seorang tokoh politik dan mantan petinggi negara jiran, Malaysia, bahkan berseloroh bahwa ia tak ingin negerinya seperti Indonesia, yang “sekali bebas, bebas sekali”, sindiran itu bukan basa-basi, tapi barangkali begitulah “tipikal” para politisi, aktivis-aktivis demokrasi kita dalam menyikapi perubahan. Kesan awalnya menggebu-gebu, namun kemudian sulit untuk konsisten dengan idealisme yang diperjuangkannya.

Hidden Agenda
Gelombang yang sama kini melanda isu KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepostisme, sebuah “ikon” negatif yang kini harus berhadapan dengan gerakan moral, yaitu gerakan anti-korupsi, yang kegiatannya sangat diperlukan sebagi bagian dari mekanisme “chek and balance” dalam era reformasi dan demokratisasi. Akan tetapi belakangan kita kurang peduli dengan ada apa sesungguhnya dibalik perjuangan sebuah gerakan anti-korupsi ?, benarkah bahwa mereka bergerak dengan tulus, memperjuangkan idealisme yang mereka cita-citakan sejak awal ?, Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sebuah kecurigaan dan buruk sangka, namun bagian dari kewaspadaan kita selaku anak bangsa, agar lebih mengerti makna sebuah perjuangan menegakkan amanah. Sebab tidak tertutup kemungkinan di tengah hingar bingar kelompok massa menebar pesona sebagai pahlawan anti-korupsi, selalu ada pihak-pihak yang mengail di air, keruh. Memanfaatkan gerakan moral ini sebagai “kuda tunggangan” ambisi politiknya, atau sebagai jalan menuju “balas-dendam politik” karena merasa tidak puas dengan individu atau kelompok lain yang selama ini berseberangan visi dengan pihaknya., atau lebih hina lagi : merasa tidak kebagian “windfall-profit” dengan pihak yang semula adalah kawan politiknya. Aroma demikian begitu kental beredar di masyarakat. Di tingkat pusat, “unfair-play” ini kurang kentara, karena boleh jadi permainan politik yang begitu cantik, namun di daerah-daerah, kecenderungan ini mulai kentara. Gerakan politik dengan agenda terselubung (hidden-agenda) semacam ini mudah dicirikan kehadirannya, mereka melakukan tekanan politik, memelintir hukum, menuduh tanpa disertai dengan bukti yang kuat, hingga melakukan trial by the press dan black propaganda. Tuduhan yang mengarah pada fitnah ini, sungguh sebuah tindakan immoral yang sama buruknya dengan tindakan korupsi yang mereka tuduhkan kepada individu ataupun kelompok. Masyarakat menjadi begitu rentan dibenturkan dengan “trick” politik tertentu, apalagi dengan isu politik terhangat : basmi korupsi !. Maka jangan heran kalau dewasa ini banyak bermunculan organisasi massa yang rajin mencari celah-celah hukum dengan tujuan menjerat lawan-lawan politik mereka untuk kemudian menjatuhkannya.

Menjaga Idealisme
Menghadapi fenomena seperti ini, apa yang semestinya patut kita lakukan?. Sebagai anggota masyarakat yang mendambakan keadilan, sudah sepantasnya kita memiliki keteguhan sikap dan prinsip untuk tidak begitu saja mudah dipengaruhi, diperalat dengan jargon –jargon politik dan tindakan politik praktis yang hanya akan menguntungkan sebagian oknum yang gila jabatan. Dalam gerakan anti-korupsi sekarang ini, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah, pihak mana yang seharusnya kita bela. Jangan lagi memilih pemimpin yang salah, kelompok “maling teriak maling”:

Kesadaran politik masyarakat akan pentingnya memberantas korupsi, jangan sampai melebar menjadi sebuah gerakan yang memiliki potensi untuk berbenturan, baik secara vertikal maupun horisontal. Biarkan proses hukum berlangsung dengan wajar dan efektif. Adalah tak patut melakukan tindakan overshooting (kebablasan) dan over-acting dalam menuduh pihak lain melakukan KKN apalagi sampai melakukan black-propaganda bahkan pemerasan (black-mail) terhadap lawan politik yang ingin kita jatuhkan citranya dengan tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme, tindakan seperti itu bisa membuat para penegak hukum menjadi tidak obyektif dalam memutus suatu perkara korupsi.Memegang teguh asas praduga tak bersalah. Sosialisasi tipologi korupsi harus terus digulirkan kepada anggota masyarakat termasuk untuk menaikkan tingkat kesadaran hukum seluruh rakyat kita. Jangan membodohi masyarakat dengan idealisme semu, yaitu idealisme yang sarat dengan kepentingan golongan. Sebaliknya dengan pihak yang menjadi calon tertuduh sebuah perkara KKN juga jangan seperti orang yang “ kebakaran jenggot” berlaku defensif dan melakukan pembelaan-pembelaan yang “overdosis”, padahal perkara belum digulirkan. Kedua pihak, yakni gerakan anti-korupsi, dan aparat yang “terancam” dijerat dengan kasus tersebut sebaiknya bersikap elegan, wajar dan demokratis. Biarkan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dihadapan hukum semua dari kita mendapat perlakuan yang adil. Tokoh China Deng Xiao Ping pernah berujar : “Kami tidak perduli kucing itu putih atau hitam, yang penting, dia bisa menangkap tikus !”. Kalau saja ungkapan Deng itu ditujukan pada gerakan anti-korupsi dimana saja di dunia ini, barangkali saya lebih memilih biarlah kita lebih memilih “kucing-putih” (gerakan anti korupsi dengan idealisme dan amanah rakyat ) saja yang yang menangkap “sang tikus” (para koruptor), karena “sang kucing hitam” bisa jadi menjadi simbol gerakan yang sarat dengan bayang-bayang hitam politik dan punya hidden agenda , sebuah “pesan sponsor”yang tidak wajar, tidak tulus dan menyesatkan (misleading)!. Sementara di dataran lain rakyat ini butuh keadilan dan penegakan hukum, bukan gerakan-gerakan anarkis yang melakukan “politicking” dengan semangat yang dibayar. Biarkan semua bentuk partisipasi politik masyarakat kembali ke jalur yang benar, jangan ada lagi rekayasa-rekayasa. Jangan ada lagi pemaksaan-pemaksaan politik. Biarkan supremasi hukum dan keadilan terwujud dengan idealisme yang sama, yaitu idealisme sebuah bangsa yang bermartabat. Kalau yang terjadi adalah munculnya kembali gerakan politik praktis yang anarkis dan sarat dengan idealisme semu, maka reformasi dan proses pembelajaran demokrasi menjadi masyarakat menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Dalam setiap gerakan moral, termasuk gerakan anti-korupsi, diperlukan sebuah konsistensi dan perjuangan yang tak lapuk dimakan ambisi kelompok dan hawa nafsu diri sendiri untuk meraih kekuasaan, kita sepakat bahwa tidak mungkin “membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor”. Menjadi “sapu yang bersih “ adalah sebuah idealisme. Menjaga idealisme hakikatnya adalah bagai berangkat ke medan perang yang sulit untuk dimenangkan, karena kita berperang melawan diri-sendiri !.


No comments: