Friday, September 26, 2008

EKONOMI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF

Oleh Ruli Alqodri Mustafa,
Akademisi alumnus FEUI

Jika orang bicara soal pendidikan seringkali yang ada di benak kita adalah gedung sekolah, guru/pendidik dan kurikulum yang telah ditentukan, belum lagi persoalan biaya yang tidak sedikit. Namun kita tahu bahwa filosofi pendidikan tidaklah sesedehana itu, karena pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran seumur hidup (long life education), artinya proses pendidikan belumlah selesai saat sekolah formal selesai, manusia dituntut terus beradaptasi dengan perubahan dan pembaharuan. Dengan kata lain pendidikan adalah proses “pemanusiaan” pada manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Disamping itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama seluruh anggota masyarakat, jadi ada jaringan keterlibatan diantara lingkungan keluarga, masyarakat dan negara. Dari scope penddidikan yang sangat luas itu, tulisan ini sebatas berupaya melihat pendidikan dalam perspektif ekonomi semata.

Human Capital
Peranan pendidikan atau bahasa teknisnya-modal manusia- atau human capital terhadap pertumbuhan ekonomi memang relatif baru dalam khazanah ekonomi makro. Teori pertumbuhan neo-klasik standar dari Solow (1956) misalnya, belum mampu menjelaskan mengapa sering terjadi kesenjangan pendapatan (income gap) antarnegara didunia, padahal pertumbuhan ekonomi disisi lain terus meningkat. Baru ketika variabel modal manusia dimasukkan dalam perhitungan ekonomi, dimulailah penjelasan tentang adanya kesenjangan tersebut. Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas pekerja. Jika produktifitas pekerja meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Kenaikan produktifitas berarti kenaikan penghasilan yang pada gilirannya secara agregatif akan mengangkat kesejahteraan masyarakat, utamanya kelompok miskin. Namun persoalan kemudian timbul; ternyata asumsi pendidikan akan menaikkan produktifitas dan pendapatan tidak serta merta bisa digeneralisasi, apa pasal ?. Sejumlah studi mengenai keterkaitan diantara pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan disejumlah negara menemukan kenyataan yang berbeda-beda, utamanya mengenai perubahan signifikan pendidikan terhadap produktifitas. Studi yang dilakukan oleh Foster dan Rosenzweig (1995) yang mengkaji dampak pendidikan terhadap petani di India sedikit banyak menjelaskan hal ini. Dalam studi tersebut ada perbedaan signifikan antara petani dengan pendidikan dasar dengan mereka yang tak pernah sekolah. Namun persoalan berbeda saat menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Di daerah tertentu yang kondisi alam dan geografis buruk misalnya, ternyata produktifitas lebih ditentukan justru dari pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani ditempat-tempat seperti itu, pergi ke sekolah selain kurang bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah. Dalam persoalan ini orang bisa berargumentasi; bukankah dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial, artinya dengan bekal pendidikan, tak harus orang selalu bekerja di satu sektor saja atau konkritnya bisa masuk ke sektor industri moderen atau high-tech misalnya. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa langkah untuk melakukan mobilitas sosial kadang terhambat oleh faktor-faktor geografis dan budaya termasuk kedalamnya isu KKN yang telah mengakar seperti halnya di Indonesia.

Penajaman Mutu dan PLS
Dengan melihat studi-studi terkini tentang manfaat ekonomis dari pendidikan di berbagai negara, tentu terlalu naif jika kita menyimpulkan kebenaran dari hanya satu-dua kesimpulan studi, namun hal itu harus kembali menggali faktor-faktor yang cocok (matching) dengan lingkungan kedaerahan serta pendekatan multidimensi sebelum memutuskan memberikan apa yang terbaik bagi pembangunan di sektor pendidikan, khususnya di daerah-daerah di Indonesia. Artinya kalau selama ini kita menyaksikan keterpurukan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun, jangan terlalu terburu-buru menyimpulkan bahwa itu diakibatkan oleh kurangnya anggaran bagi pendidikan, kemudian orang bicara soal alokasi dana yang lebih besar di sektor ini, keringanan bahkan penggratisan biaya pendidikan menengah dan tinggi, block-grant dan lain sebagainya. Padahal kontribusi dan manfaat dari output di unit-unit pendidikan formal yang didanai tak pernah tersentuh oleh penelitian yang komprehensif, apakah outputnya mendongkrak gdp/capita,statik atau bahkan menurun ?. Maka tak salah jika ada anggapan bahwa sering terjadi blunder (kesalahan langkah) dalam menentukan garis kebijakan sektor pendidikan, utamanya di negara-negara berkembang. Oleh sebab itulah dalam kaitan dengan persoalan ini, saya cenderung lebih concern dengan penajaman mutu dan akselerasi pendidikan luar sekolah (PLS, atau informal education) yang adaptif dengan pasar tenaga kerja (labor market) dibandingkan misalnya memaksakan diri untuk menggratiskan biaya pendidikan menengah hingga tinggi tanpa meneliti dampaknya terhadap ekonomi masyarakat. Kedua hal ini-PLS dan penajaman mutu- dalam pelbagai kajian kenyataannya lebih cepat untuk menaikkan produktifitas, membuka peluang kerja baru yang pada gilirannya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Oleh sebab itulah selayaknya peningkatan anggaran pendidikan juga lebih memperhatikan dua hal tersebut, tidak semata sekolah formal yang konsepnya lebih populis. Karenanya PLS, baik yang bersifat suplemen, seperti kursus, BLK (balai latihan kerja), pondok pesantren termasuk pengajian-pengajian yang marak dewasa ini maupun PLS komplemen dan sustitusi semisal kepramukaan atau program Kejar-Paket A dan B harus semakin diperhatikan eksistensinya. Dalam kajian ekonomi pendidikan. Peran PLS sebagai human-investment sangat menguntungkan dibandingkan dengan pendidikan persekolahan yang terlalu bercorak akademis dan penyamarataan program. Penelitian BP3K (Suryadi dalam Darusman, 2005) melihat bahwa kontribusi PLS jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan persekolahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Output PLS banyak menghasilkan padat karya dan padat usaha, yang pada gilirannya menghasilkan padat kesejahteraan.

Tepat dan Berhasil Guna
Sebuah perspektif moral dari literatur tentang manfaat ekonomi dari pendidikan adalah bahwa jalur pendidikan, baik formal dan informal sebaiknya mengacu pada pendekatan multidimensi yang menyeluruh (comprehensive) tentang perilaku modal manusia, faktor geografis, bawaan (endowment-factors) sebelum menentukan garis kebijakan yang tepat di sektor pendidikan, jangan lagi melakukan blunder, seperti terjadi dimasa lalu, dimana terlampau percaya dan “memanjakan” perndidikan formal dengan anggaran lebih, namun kenyataannya manfaat riil dari output pendidikan formal tertentu tak kunjung tampak, sebaliknya ledakan lulusan pendidikan tinggi semakin menambah deretan pengangguran terdidik hingga membebani perekonomian nasional. Jangan lagi kita terjebak pada proyek-proyek pendidikan populis atau proyek high-tech yang sekedar “mercusuar”, padahal input biaya triliunan-rupiah dihabiskan tanpa menghasilkan output produktif, jadi yang penting adalah mengedepankan program pendidikan yang tepat guna dan berhasil guna. Akhirnya sebuah kesimpulan kajian dengan sangat baik dipaparkan oleh Ekonom Ari A. Perdana dari Harvard University AS, 2005 dalam risalahnya tentang pendidikan dan pertumbuhan ekonomi; bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.

No comments: