Thursday, September 25, 2008

ESENSI FILANTROPI

FILANTROPI DAN KOMITMEN KETAQWAAN

Oleh : Ruli Mustafa
The Lafidzi Center


Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”

(QS Al-Baqarah 261)

Di depan pintu masuk sebuah kantor perusahaan multinasional tertera sebaris kalimat “Give in order to Get”-memberi untuk menerima-. Bait kalimat yang simple itu bisa saja ditafsirkan si empunya usaha cenderung pamrih. Namun sejatinya kata-kata itu ada benarnya. Para CEO perusahaan-perusahaan multinasional di mancanegara belakangan menyadari bahwa salahsatu kiat sukses bisnis adalah melakukan repositioning melalui pencitraan diri perusahaan. “Pemberian” bisa berarti memberikan pelayanan yang maksimal, menjual produk yang baik atau dapat berupa charity ( amal-sedekah). Kini beragam kegiatan filantropi korporat tersalurkan dalam divisi yang mengurus beban tanggung jawab sosial perusahaan ( corporate social responsibility-CSR). Filantropi atau kedermaan adalah membagi sebagian harta secara sukarela demi kepentingan sosial kemanusiaan. Aktivitas CSR kini telah mendunia, bahkan kita telah mengadopsinya kedalam UU perseroan terbatas yang baru, yang mewajibkan perusahaan-perusahaan tertentu untuk menyisihkan sebagian keuntungannya bagi kepentingan sosial masyarakat. Kesadaran untuk berbagi dan peduli sesama ( sharing and caring ) ternyata bukan semata-mata gerakan nurani manusia sebagai makhluk sosial atau perintah agama. Namun belakangan disadari bahwa filantropi, derma atau sedekah didedikasikan sebagai strategi agar dunia usaha memperoleh benefit yang paling optimal. Dengan menyisihkan sebagian keuntungan usaha untuk kegiatan sosial, maka perusahaan akan mendapatkan reputasi plus di mata masyarakat konsumen. Yang pada gilirannya akan selalu terus diingat sebagai “icon” produk yang disukai, yang melekat di hati konsumen. Di negeri barat, filantropi telah lama disadari tidak saja sebagai kegiatan yang berorientasi kepada spiritual-religius, namun juga sebagai strategi pencitraan diri yang bermanfaat, dan manfaat itu bukan saja untuk pihak lain tapi juga diri sendiri.
Multi-milyuner AS Bill-Gates, pemilik korporasi Microsoft Inc. misalnya, berkomitmen mendedikasikan 50 % hartanya yang kalau di Rupiahkan senilai sekitar Rp 45 triyun lebih, untuk proyek-proyek kemanusiaan di seluruh dunia. Tentu akan banyak hal menyangkut proyek kemanusiaan yang bisa dibangun dengan dana sebesar itu !. Perusahaan multinasional lain seperti Danone, Coca-Cola, Unilever dan lain-lain melakukan hal serupa, gencar mendermakan sebagian keuntungannya untuk kepentingan sosial masyarakat, dan masih banyak contoh-contoh kegiatan filantropi yang lain.
Di dalam negeri gerakan ini antara lain telah cukup berhasil dijalankan oleh Perusahaan Jamu Sido-Muncul dan Indofood, yang intens melakukan kegiatan yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Strategi marketing, promosi dan CSR dilakukan secara sinergis sehingga performa perusahaan menjadi unggul, dikenal masyarakat ( well-known ) dan pada saatnya akan memperoleh keuntungan berlipat ganda. Setidaknya diperlukan tiga hal dalam melakukan kegiatan filantropi yang efektif, Pertama, penyisihan keuntungan atau kuantitas pemberian harus dipetakan dengan jelas kuantitas serta kualitasnya dan penghimpunannya dilakukan oleh suatu Badan yang professional, transparan, accountable dan independen. Kedua, pengalokasiannya harus terarah kepada pihak yang tepat sasaran dan Ketiga harus dilakukan penuh dedikasi, kerelaan dan keikhlasan. Agak sulit memenuhi syarat yan ketiga, namun pengalokasian yang tidak diskriminatif dan lintas SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) sudah cukup representatif untuk dapat disebut ikhlas. Hal lain yang juga penting adalah bahwa aktivitas tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan.

Universalitas Nilai Taqwa
Seberapa besar sesungguhnya komitmen ketaqwaan seseorang dikaitkan dengan entusiasme filantropis-nya ?. Dalam terminology Islam, Taqwa berasal dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi atau menjaga diri ( Prof Quraish Shihab, 1999 ). Kalimat perintah Ittaqullah secara harfiah berarti hindarilah, jauhilah dan jagalah dirimu dari siksa Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Taqwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya ; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Taqwa adalah derajat kemuliaan tertinggi bagi manusia (the highest degree of mankind) yang diberikan olah Allah SWT. Bukan hal yang mudah memperoleh ketaqwaan, namun bukan berarti manusia tak bisa meraihnya. Rezeki atau rizqi adalah segala yang dapat diambil manfaatnya. Menafkahkan sebahagian rezeki ( zakat, infaq dan shodaqoh) adalah memberikan sebagian harta -yang lebih dari keperluan- yang telah dirizqikan oleh Allah kepada orang-orang yang telah disyariatkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain. Profit bagi perusahaan adalah rizqi institusional, Gaji dan penghasilan adalah rizqi personal. Jadi kegiatan filantropi dapat dilaksanakan baik secara personal maupun institusional/akumulasi personal dalam koridor ketaqwaan kepada Tuhan. Upaya meniti jalan menuju taqwa seharusnya ditaati dengan lebih memahami taqwa dalam arti sebenar-benarnya ( QS Ali-Imran 102).
Definisi taqwa yang sering kita dengar secara umum adalah mentaati semua perintah Allah dan menjauhi larangan-larangNya. Esensi ketaqwaan adalah diperolehnya derajat kemanusiaan yang tertinggi, sebuah “passing-grade” menuju kemuliaan sebagai makhluk Namun secara lebih tegas setidaknya telah diberikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran ( Surat Al-Baqarah ayat 3,4, 177 dan Ali Imran ayat 133-136, Al-A’Raaf 201 serta Adz-Zariyat 17-19 ). Yang menarik adalah didalam Islam perintah Allah untuk mendirikan sholat –ritual paling utama- selalu diiringi dengan kewajiban berzakat / menafkahkan sebahagiaan rezeki yang kita miliki ( wa-aqimusSholata wa-atuzZakata atau wa-mimma Razaqnahum Yunfiquun). Bahkan dalam QS Ali-Imran 134 Allah menempatkan kriteria taqwa salahsatunya adalah melakukan filantropi (derma secara ikhlas). Aktifitas filantropi adalah “top-priority’ baik dalam keadaan susah (sempit) maupun senang (lapang) bagi setiap hamba yang ingin mendapat predikat taqwa. Sebaliknya Allah SWT akan memberikan “rapor merah” sebagai pendusta agama bagi mereka yang hanya mementingkan diri sendiri dalam ritual sholat namun lalai dalam (antara lain) menafkahkan sebagian hartanya dijalan Allah (QS Surat Al-Mauun ).
Terdapat konsepsi ekonomi dalam terminologi taqwa yang sering kita abaikan, yaitu aspek filantropi (zakat, infaq, shodaqoh). Dalam Islam dana-dana filantropi dikelompokkan dalam Zakat, Infaq dan Shodaqoh atau ZIS. Bahkan zakat lebih dari sekedar filantropi, ia adalah kewajiban mutlak dengan sanksi bagi yang tak melaksanakannya. Seperti halnya pajak dalam administrasi Negara, meskipun secara fungsional ada perbedaan antara pajak dan zakat. Keragaman dalam kehidupan beragama di Indonesia adalah rahmat yang patut disyukuri. Maka sudah sepatutnya umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini harus mampu membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu kemiskinan dan keterpurukan kondisi sosial ekonomi. Potensi ZIS di Indonesia amatlah besar, berdasarkan hasil Riset UIN Jakarta tahun 2005, dalam setahun dapat mencapai Rp 19,3 Triliun. Sebuah potensi yang sungguh besar untuk memberdayakan ummat. Ironisnya dengan dana yang besar tersebut, bangsa kita laksana “buih”, tak mampu melakukan terobosan besar untuk mensejahterakan rakyat selama bertahun-tahun. Kita seharusnya mampu menghidupkan semangat filantropi ini untuk menghantarkan ummat menuju taqwa, dimana salahsatu prasyarat ke-taqwaan adalah memiliki entusiasme dan manajemen untuk menafkahkan sebagian hartanya dijalan Allah.
Memang kita patut bersyukur bahwa dari sisi insitusi, secara bertahap di Indonesia telah bertumbuh lembaga ekonomi syariah yang kini marak, meskipun baru dalam tahapan transisi yaitu munculnya bank-bank syariah. Namun sosialisasi perannya juga masih sangat terbatas dan “elitis”, sehingga kurang dapat menyentuh kepentingan masyarakat lapisan terbawah. Kesan yang muncul di kalangan sebagian besar masyarakat konsumen yaitu bahwa kiprah bank syariah Indonesia masih bernuansa bank konvensional, atau lebih ekstrim lagi hanya sebatas “ganti baju” . Lembaga ekonomi syariah yang spesifik seharusnya dihidupkan sehingga mampu melakukan terobosan dengan lebih inovatif, profesional, manageable dan pro-rakyat, bukan semata-mata berlomba mengakumulasi kapital demi keuntungan sekelompok orang.
The Grameen Bank pimpinan Prof Muhammad Yunus-pemenang nobel perdamaian 2006 adalah sebuah contoh yang cukup ideal tentang kiat sukses mengelola lembaga keuangan untuk kaum miskin di Bangladesh. Tak kurang dari USD 6 milyar dana bank telah berhasil ia salurkan, utamanya untuk menyediakan kredit tanpa agunan yang sangat diperlukan masyarakat lapisan bawah dengan imbal-balik yang tidak memberatkan. Sebuah terobosan yang terbukti ampuh melawan kemiskinan dan ketidakadilan bidang ekonomi, suatu hal yang patut diikuti model lembaga keuangan di negara kita. Indonesia yang sebagian besar penduduknya muslim seharusnya melakukan reposisi ekonomi, antara lain dengan lebih proaktif mengupayakan universalitas ekonomi syariah yang murni. Idealnya, segera dibuat semacam “holding” bagi Lembaga Ekonomi Syariah di tingkat pusat- tak hanya sekedar bank-, dengan institusi pendukung di daerah yang tugas utamanya memanfaatkan potensi filantropi umat untuk kepentingan umat juga. Dengan menyadari realita sosial serta memahami potensi filantropi ummat Islam di sisi lain maka kini saatnya kita mencari jalan terobosan yang membebaskan ummat dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Maka diperlukan penghayatan Agama yang membumi (down to the earth) yang mampu mentransformasikan ritual agama kedalam nilai nilai social-sebagai rahmat bagi semesta alam. Tanpa itu niscaya kita tetap laksana “pungguk merindukan bulan” yang terjebak kedalam kultur “dunia ketiga” yang secara sosial-ekonomis terus akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia. Di lain pihak setiap individu umat Islam hendaknya semakin gencar melakukan gerakan filantropi agar dapat bangkit dari kemiskinan, kebodohan serta keterpurukan.
Dengan girah filantropi maka hakikatnya kita menanti gema kehidupan, seperti ungkapan siapa menebar benih yang unggul, maka akan memanen buah yang baik Bukan sebaliknya - siapa yang menebar angin, maka akan menuai badai, yang tercermin dalam maraknya kasus korupsi sehingga membuat bangsa terpuruk. Semangat filantropi dibarengi dengan niat yang ikhlas, pemberian yang berkualitas, proporsional dan tepat sasaran. Ketaqwaan adalah implementasi kesalehan individual menuju kepada kesalehan sosial. Kesalehan social juga berarti menghapuskan segala jenis penyakit hati seperti kikir, egois dan hedonisme. Tanpa komitmen filantropi – dalam sudut pandang moral semua agama-, maka kita tak ubahnya adalah pendusta-pendusta agama. Oleh sebab itulah hendaknya kita beribadah dalam kerangka rahmat bagi seluruh alam dengan orientasi Demi Allah (Wallahi), Karena Allah (Lillahi) , Untuk manusia dan kemanusiaan.. Wallahu-a’lam..

No comments: