Saturday, May 05, 2012

Dari PesantrenVirtual.com

Tubuh Sebagai Perekam Perbuatan Kita
Salah satu hal yang sangat berperan dalam upaya kita meningkatkan takwa pada Allah SWT adalah mengingat mati dan kehidupan di akhirat. Bahwa semua makhluk tanpa kecuali akan meninggalkan dunia yang sementara ini. Entah nanti, atau besok, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kita semua pasti akan mati.  كل نفس ذائقة الموت  (Setiap makhluk hidup pasti akan mati). Dan kita, sebagai umat Islam memang diperintahkan untuk sering-sering ingat mati agar hidup kita menjadi baik. Nabi bersabda: أكثروا ذكر هاذم اللذات (Perbanyaklah mengingat pemutus keenakan duniawi).
Selanjutnya, berkaitan dengan kehidupan di akhirat, ada dua hal utama yang harus selalu menjadi peringatan bagi kita. Pertama, bahwa hidup di dunia ini teramat sangat sementara, dan hidup di akhirat itu tiada batasnya. Andaikan saja kita dikaruniai umur panjang sampai 100 tahun, maka sebenarnya itu hanyalah sepersepuluh hari akhirat. Sebab 1 hari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia. Ini didasarkan pada ayat ke-7 surat As-Sajdah yang berarti:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNYA dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.
Jadi, secara matematis masa 100 tahun di dunia = 2 jam 24 menit (menurut perhitungan akhirat). Lebih detil lagi, 1 jam akhirat = 41,66 tahun, 1 menit = sekitar 255 hari, dan 1 detik = 4,25 hari.
Kedua, bahwa semua perbuatan yang kita lakukan di dunia terekam oleh tubuh kita. Kita harus tahu bahwa agama kita tidak mengajarkan apa yang sering diungkapkan orang “surgo nunut neroko katut (ke surga numpang, ke neraka ikut). Karena yang benar adalah, orang masuk surga karena amal baiknya, dan yang masuk neraka karena kesalahannya sendiri. Sehingga ada sebuah ilustrasi (penggambaran) di dalam al-Quran surat al-Anam ayat 94. Seolah-olah ketika nanti di hari Kiamat dan kita berbondong-bondong menuju pengadilan Allah, terpampang sebuah sepanduk besar yang artinya:
Dan sungguh kalian telah datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami ciptakan kalian pada mulanya. Dan kalian tinggalkan di dunia apa yang telah Kami karuniakan pada kalian. dan Kami tiada melihat bersama kalian pemberi syafa'at yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu. Sungguh telah terputus hubungan-hubungan di antara kalian dan lenyaplah apa yang dahulu (di dunia) kalian anggap (sebagai sekutu Allah).
Kita lahir di dunia dari dua garba ibu sebagai pribadi-pribadi. Tetapi kemudian kita dituntut untuk hidup yang baik. Dan kebaikan kita di dunia ini selalu diukur secara sosial. Perbuatan baik adalah perbuatan baik dalam konteks sosial. Itulah makanya manusia disebut makhluk sosial. Makhluk yang harus selalu memikirkan sesamanya. Seperti dilambangkan dalam ucapan terakhir setiap kali kita salat, yaitu assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh (semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah senantiasa tercurah untuk kalian) sambil menengok ke kanan dan kiri. Seakan ini adalah peringatan dari Allah SWT, “Kalau kamu sudah melaksanakan salat untuk mengingatku, maka sekarang buktikan bahwa kamu mempunyai tekad baik untuk memperhatikan sesama makhluk di sekitarmu. Tengoklah kanan-kirimu karena masih banyak yang membutuhkan bantuan.”
Jadi kita menjadi makhluk sosial di dunia ini. Tapi ketika kita mati nanti, dan memasuki alam kubur, kita menjadi makhluk pribadi kembali. Seluruh perbuata kita di dunia, baik dan buruk, hanya kita sendiri yang menanggung. Allah telah memperingatkan dalam surat Luqman ayat 33 yang artinya:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia menipu kalian, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kalian.
Pengadilan Allah sama sekali tidak menerima tebusan. Tebusan (عدل) dalam sistem hukum negara kita tidak dikenal. Makanya orang yang sedang menjalani hukuman di penjara, kalau dia mau keluar untuk sementara dia harus menyuap petugas. Istilahnya menyuap tidak menebus. Tapi di negara Inggris, sistem hukumnya mengakui adanya tebusan, atau dikenal dengan istilah bail. Di akhirat kelak, sama sekali tidak ada tebusan apalagi suap. Semuanya harus berhadapan dengan Allah sendiri-sendiri. Praktek pengadilan Ilahi di hari akhirat kelak telah dijelaskan dengan gamblang dalam surat Yasin ayat 65 yang artinya:
Pada hari itu Kami bungkam mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka, sedankan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian atas apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Jadi, badan kita ini akan menjadi saksi. Jika mulut mencoba mengingkari suatu tuduhan dalam pengadilan Allah nanti, maka yang akan membantah adalah tangan kita sendiri, dan kaki kita akan menjadi saksi. Ini adalah peringatan yang sangat kuat yang harus selalu kita renungkan.
Secara ilmiah kita bisa mengatakan bahwa badan kita ini memang bisa menjadi saksi dari seluruh perbuatan kita. Sebuah teori mengatakan bahwa sebenarnya segala kejadian di alam raya ini tidak ada yang hilang tanpa terekam. Kejadian-kejadian itu terekam di angkasa juga di dalam diri kita sendiri. Sebagai contoh dari proses perekaman ini adalah fungsi DNA (deoxyribonucleic acid) dan gen. DNA dan gen berfungsi sebagai perekam semua bentuk dan karakter/watak kita. DNA terdapat di dalam gen, gen ada di dalam kromosom, dan kromosom terdapat di dalam sel. Dan perlu kita tahu bahwa semua makhluk hidup memiliki sel. Baik DNA, gen, kromosom, dan sel, semuanya adalah benda-benda mikroskopis (yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop). Tetapi justru di dalam DNA itulah terekam seluruh informasi mengenai diri kita. Apakah rambut kita ikal atau lurus, hidung kita pesek atau mancung, watak kita penggembira atau gampang sedih, watak kita supel atau tertutup, semuanya ada di dalam benda-benda yang tak terlihat oleh mata telanjang kita.
Oleh karenanya, jika al-Quran mengatakan bahwa badan kita menjadi perekam dari seluruh perbuatan kita, adalah suatu hal yang benar adanya. Karena di dalam tubuh kita ini terdapat milyaran DNA dan gen. Dan semuanya itu kelak akan berbicara pada Allah SWT melalui tangan dan kaki kita seperti dilukiskan di dalam surat Yasin ayat 65 tsb.
Maka dari itu, semua ini harus menjadi peringatan bagi kita. Hidup di dunia hanya satu kali. Setiap kejadian yang kita alami hanya terjadi sekali. Bahkan setiap detik, menit, dan jam, tidak mungkin terulang lagi. Maka hendaknya kita terus berupaya meningkatkan kulaitas hidup kita secara serius. Demikian semoga bermanfaat.

Sunday, April 29, 2012

Dari MIMBAR JUMAT

Masjid merupakan salah satu kata yang diderivasi dari kata sajada-yasjudu-sujud, yang berarti patuh, taat serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’zhim. Secara syara’ sujud adalah menempelkan dahi, kedua tangan, lutut dan kaki ke bumi. Dari sini dapat pula diketahui bahwa secara sematik masjid berarti tempat sujud atau tempat shalat. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw, “Dimana saja engk.au berada, jika waktu shalat tiba, dirlkanlah shalat, karena disitu pun masjid” (HR. Muslim).

Selain makna sematik diatas, masjid juga memiliki makna syara’. Dalam pengertian ini, masjid adalah sebuah bangunan, tempat ibadah umat Islam, yang digunakan umat Islam terutama sebagai tempat dilangsungkannya shalat berjamaah. Tetapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktifitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah SWT semata. Atas dasar ini Allah SWT menegaskan, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. Jin [72]: 18).
Optimalisasi adalah suatu upaya untuk memfungsikan masjid sebagai tempat yang dapat mengarahkan umat kepada mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk itu masjid haruslah memiliki fasilitas-fasilitas seperti ruangan dan peralatan yang setidaknya dapat difungsikan sebagai :
  • Pertama, ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
  • Kedua, ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria, baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
  • Ketiga, ruang pertemuan dan perpustakaan.
  • Keempat, ruang poliklinik dan ruang memandikan dan mengkafani mayat.
  • Kelima, ruang bermain, berolahraga dan berlatih bagi remaja.
Semua hal diatas harus diwarnai oleh kesiapan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal yang termaktub. Ketentuan-ketentuan diatas merupakan kesepakatan para ulama dari berbagai negara Islam dalam muktamar Risalah al-Masjid di Mekkah pada tahun 1975.
Sebagai baitullah (rumah Allah), masjid adalah tempat turunnya rahmat Allah SWT. Oleh sebab itu, masjid dalam pandangan Islam adalah tempat yang paling mulia dan baik di permukaan bumi. Di masjid, umat Islam menemukan ketenangan hidup dan kesucian jiwa, karena disana terdapat majelis-majelis dan forum-forum terhormat. Masjid bagi umat Islam adalah institusi yang paling penting untuk membina masyarakt. Di masjidlah rasa kesatuan dan persatuan ditumbuh-suburkan, Di masjid semua strata masyarakat bertemu dalam derajat yang sama, karena Allah SWT tidak memandang strata masyarakt di atas dunia. Bagi Allah SWT yang paling terhormat diantara meraka adalah yang paling bertakwa, (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh fungsi dan peranan yang telah diemban oleh masjid pada raasa Nabi (masjid nabawi), yaitu:
  1. Tempat ibadah (shalat, dzikir) dalam ha! ini Allah SWT berfirman, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalaninya, pada waktu pagi dan waktu petang”. (QS. An-Nuur[24]:36).
  2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial dan budaya).
  3. Tempat pendidikan
  4. Tempat santunan sosial
  5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya
  6. Tempat pengobatan para korban perang
  7. Tempat pengadilan dan mendamaikan sengketa
  8. Aula dan tempat menerima tamu
  9. Tempat menahan tawanan
  10. Pusat penerangan dan informasi serta pembelaan agama
Keberhasilan masjid memainkan peranannya yang begitu luas pada masa Nabi Saw, agaknya disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
  • Pertama, keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma dan jiwa agama.
  • Kedua, kemampuanPembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
  • Ketiga, manifestasi pemerintah terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintah yang menjadi imam khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintah dan musyawarah.
Keadaan diatas telah berbeda dengan saat ini, dimana telah muncul lembaga-lembaga baru yang mengambil alih sebagian fungsi (peranan) masjid pada masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid. Dengan demikian fungsi dan peranan masjid seperti pada masa Nabi Saw itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun itu bukan berarti bahwa masjid tidak lagi dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 03 Th XXII – 18 Januari 2008, Jum’at III

Thursday, April 05, 2012

"Berputarlah Pada Orbit-NYA"

Oleh : Ruli Mustafa
(Dari Pengajian BBm Anak Zona KS)

"Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasib/keadaan pada diri mereka" (QS Ar-Ra'd 11), ayat ini sering kita dengar sebagai sebuah seruan untuk memotivasi kita agar selalu hidup lebih baik dari hari ke hari, sabda Nabi Muhammad SAW, orang yang hari ini kualitas hidupnya sama saja dengan kemarin berarti rugi, jika lebih buruk berarti binasa !. Artinya konsep yang terbaik adalah " To be a better tomorrow, to be a better future" hari esok, kualitas diri kita harus lebih baik dibandingkan hari ini...Jadi janji Allah itu jelas bahwa jika kita mau berusaha keras dalam hal apapun juga atas dasar takwa, dan Allah ridho dengan usaha kita itu, maka seluruh elemen alam ini akan diperintahkan olehNYA memuliakan kita dengan sebuah keberhasilan dan kesuksesan !.Kembali ke tafsir QS Al-Ra'd 11, apa iya Allah tidak mau mengubah nasib kita sepanjang kita tidak mau berusaha mengubahnya ?, maka jawabnya Ya !, ini logis. Bukan berarti Allah tak bisa, tapi tidak mau kalau manusianya sendiri yang tidak ada usaha untuk berubah, Dalam surat yang sama (Ar-Ra'd) ayat 39, ditegaskan bahwa Allah sangat kuasa mengubah nasib bahkan takdir sekalipun !..Allah mengajarkan hambanya untuk menghargai proses, Ridho Allah lebih berorientasi kepada usaha manusia, kepada pengorbanan karena cinta dan takwa kepadaNya. Kesungguhan itulah jihad yang utama .Do'a dan Usaha ibarat dua sisi dalam koin matauang yang sama, tidak terpisahkan, semua mahluk Allah di alam semesta ini bergerak, berputar pada orbitnya, sembari bertasbih memujiNya dengan cara yang hanya Allah Maha mengetahuinya, mereka patuh dan taat (sami'na wa atho'na), sementara manusia diberi pilihan oleh Allah, jika mau menjadi baik "berputarlah pada orbitmu yang telah Allah tunjukkan" Tuntunannya sudah ada, yakni Al-Qur'an dan Hadits. Ya, rujukan orbit itu adalah "the way of life" Al-Qur'an dan Hadits. kalau mau keluar orbit, monggo silahkan,
La Iqro Ha Fiddin (tiada paksaan dalam agama) ....resiko tanggung sendiri, yang jelas dimanapun dan kapanpun selama jatah umur masih ada bergeraklah, berputarlah, berikhtiarlah dengan menyebut nama Allah, jangan hanya berpangku tangan-ongkang ongkang kaki, ber-harap2 keajaiban sim salabim bakal datang, nggak mungkinlah ya, non sense !...ok?, Muslim yang baik itu "wajib hukumnya" kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas..Last but not least, tawakkaltu ilallah-berserah dirilah kepada Allah, Hasbunallahu nikmal wakiil-Cukuplah Allah pelindung kita dan sebaik-baik penolong-God is good all the time !.. Ok sahabat, enjoy your life and keep smile, ibda bi nafsih-mulai dari diri sendiri, ubah hal hal yang kecil agar menjadi lebih baik dan semakin baik, mulai dari sekarang, Insya Allah all of us get a better future, semuanya akan indah pada waktunya, hari ini dan selama-lamanya !. Barakallahu fi kum, Semoga rahmat dan hidayah Allah tercurah kepada kita di hari baik ini, take care ya.... wassalamu'alaikum wr wb. (From me with LOVE)

Wednesday, April 04, 2012

TETAPLAH BERKARYA !

Oleh : Ruli Mustafa
(Dari Pengajian BBm Anak ZONA KS)

Islam tak mengenal kata "Pensiun" dalam berkarya : Faidzaa faroghta fansob, wa ilaa Robbika farghob -maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain . Dan hanya kepada Tuhanmu lah kamu berharap (QS al-Insyirah 7-8). Konsep pensiun yang diterapkan di ranah ekonomi kapitalis, antara lain telah menimbulkan ekses negatif membentuk nilai-nilai kemanusiaan yang menyimpang dalam berkarya. Pola pikir (mindset) masyarakat dibuat seakan seseorang yang sudah pensiun otomatis "dipensiunkan" pula segala karya dan dayanya, orang hanya dipandang seperti "sapi perahan" - lebih parah hanya dianggap "keset" bukan lagi asset. Dianggap bahwa manusia ada masa kadaluarsanya dalam berkarya, manusia dianggap seperti robot atau mesin, jauh dari konsep "memanusiakan manusia" sebagai insan kamil, sebagai rahmatan lil alamin. Peran manusia sebagai mahluk Allah dikerdilkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jauh dari konstitusi Ilahiyah. Makanya jangan heran, dengan terapan konsep pensiun ini, banyak orang yang terjangkit "post power syndrome" --gamang, galau, stress karena "tiba-tiba" jabatannya hilang, tetapi merasa masih punya jabatan, akibatnya bisa ditebak, ia bisa terasing di lingkungan pergaulan sosialnya, merasa sepi di keramaian, merasa tidak dihormati lagi, seolah kehilangan gengsi dan beragam sikap pesimistik lainnya, Akibatnya, berbagai penyakit degeneratif menyerang, semangat hilang, sakit-sakitan karena merasa "mati" sebelum mati.....Padahal Islam tidak menerapkan paradigma "Pension" ini dalam kehidupan manusia. Tidak ada satupun dalil, baik di Qur'an maupun hadits yang membenarkan "pensiun" dalam berkarya, berikhtiar apalagi beribadah. Selama usia masih ada, selama itu pula manusia berkarya...hidup laksana berjuang di medan perang, pantang menyerah sampai titik darah penghabisan, terus bertarung sebelum ajal menjemput !.Ayat 7 dan 8 Qur'an surat al-Insyirah jelas menjadi dalil bahwa tak ada kata "pensiun" dalam berkarya, tak ada istilah menunda-nunda pekerjaan dengan alasan apapun, karena itu selalu dan selalu kerjakan pekerjaan lain segera setelah selesai satu urusan !, demikian seterusnya dan seterusnya selama hayat masih dikandung badan!, Ok dear friends, please keep this spirit alive, "Man jadda waJada ! - siapa yg bersungguh-sungguh Insya Allah akan berhasil !- where there is a will there is a way"...Selamat berkarya, selamat beraktifitas. Tetap Istiqomah dan semangat !..

Monday, April 02, 2012

"MAN JADDA WA JADDA" - Where There is a Will There is a Way

Oleh Ruli Mustafa
The LAFIDZI Center

Ada ungkapan Arab yang terkenal di kalangan pesantren yaitu “Man Jadda Wa Jadda” yang artinya “Barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil, ”-where there is a will there is a way !” , juga terkenal di masyarakat kita pepatah “Dimana ada kemauan, pasti disitu ada Jalan “. Tidak ada hal yang sulit jika kita mau berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas, yang penting ada kemauan dan ada kesungguhan serta gunakan logika serta ilmu pengetahuan sesuai kapasitas kita masing masing yang telah Allah Ta'ala karuniakan. Setiap manusia punya potensi untuk tumbuh dan berkembang, jadi bukan hanya sekedar tumbuh semata, melainkan harus berkembang. Allah sudah berikan modal dasar berupa otak dan akal yang lebih baik dibandingkan dengan mahluk lainnya di muka bumi ini. Jadi sangatlah keliru jika kita beranggapan bahwa nasib tidak bisa diubah. Nasib kita itu kita sendirilah yang menentukan, sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah dalam kitab suci Al-Quran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasib atau keadaan yang ada pada dirinya (QS Ar-Ra'd 11). Kalau sekarang kita menyaksikan arus globalisasi yang menggunakan cara-cara kapitalis-liberal dalam menggapai rezeki Illahi, maka akibatnya bisa kita rasakan sangatlah buruk. Memang disatu sisi tampaknya kondisi sosial ekonomi masyarakat tenang saja, akan tetapi jangan salah, selama bertahun-tahun kita telah dibuai oleh nilai-nilai yang ternyata jauh dari ayat-ayat Allah. Tengok saja dewasa ini terjadi penumpukan modal di segelintir anggota masyarakat. Uang terkonsentrasi di kelompok mereka yang menggunakan cara-cara frontal, korupsi, manipulasi, kongkalikong, jalan pintas membeli jabatan dengan suap atau serangan fajar dalam Pemilu atau Pilkada serta beragam kelicikan lainnya. Sementara semakin banyak kelompok miskin yang terseok-seok mencari kehidupan akibat sistem yang salah kaprah, seperti pameo “Yang kaya semakin kaya yang miskin bertambah miskin “. Kapitalisme liberalistik mengajarkan rangkaian kompetisi yang tidak sehat, tidak fair dan tidak transparan !. Sementara konsep yang dielaborasi dari nilai-nilai islam merupakan konsep ideal yang bisa diterapkan secara mudah, tidak berliku-liku dan sangat faktual berlaku dalam kehidupan masyarakat di masa kini maupun di masa-masa mendatang. Islam memberikan kiat berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiqul khairat). Terminologinya jelas “Berlomba-lomba”artinya saling bahu-membahu (hand in hand, bersinergi). Dalam berupaya menggapai rezeki, yakin bahwa pencapaian harus dilakukan melalui sebuah jaringan, sebuah network atau Jam’iyah, bukan dengan jalan sendiri-sendiri alias individualistik. Keberhasilan pencapaian juga diarahkan kepada pemerataan kapital berdasarkan asas keadilan, bukan penimbunan yang mengundang keserakahan (seperti yang diterapkan ekonomi kapitalis) bukan pula asas “sama rata sama rasa” yang ditawarkan oleh konsep ekonomi komunis. Kita lihat saja dalam ekonomi kapitalis justru hal yang sebaliknya sangat jauh dari nilai-nilai Islam malah dilegalkan seperti : bersaing secara tidak wajar-menciptakan aneka penghambat (barrier to entry) dalam mekanisme dagang, tujuan menang-menangan, berkompetisi secara tidak sehat, yang akhirnya akan melahirkan mental-mental manusia serakah (greedy), saling menjegal, saling meniadakan bahkan saling membunuh dalam ranah persaingan menggapai rezeki, parahnya hal tersebut kini malah dianggap lumrah, wajar karena telah diterima oleh banyak kalangan masyarakat.

Bagi kita yang kini telah terlanjur tenggelam dalam arus modernisasi, arus ekonomi neo liberal dengan segala manifestasinya, saatnya kini berada di simpang jalan, ada pilihan-pilihan buruk ada pula pilihan terbaik, ada kesempatan memilah dan memilih yang terbaik, dan ini semuanya tergantung niat kita memperjuangkan keberdayaan kita sebagai umat manusia, sebagai hamba Allah yang patuh dan taat terhadap segala perintahNYA. Memang pilihan ini memerlukan perjuangan serius untuk berubah, bukan langkah setengah-setengah, bukan pula dengan keragu-raguan. Sebagaimana ummat Islam yang diharuskan oleh Allah untuk masuk kedalam ajaran Islam secara keseluruhan (kaffah). Konsep ideal menjemput rezeki bukanlah sesuatu yang sulit digapai, persoalannya terpulang kepada niat serta kesungguhan hati untuk memperjuangkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Jadi kita tak perlu pesimis, miris atau tidak yakin dengan upaya kita melakukan reposisi di segala bidang, khususnya menjemput rezeki. Apabila tata nilai yang berlaku saat ini sangat jauh dari aturan Allah, maka hendaknya kita bisa mengubahnya dengan sebuah proses “pemupukan” idealism yang terus menerus. Sehingga bukan pada tempatnya lagi kita berfikir pragmatis sekedar uang dan hidup, akan tetapi memandang jauh kedepan dengan misi-misi yang lebih baik. Ada ungkapan yang terkenal sebagai pernyataan seorang Umar Bin Khattab ra yg idealis, semestinya menjadi inspirasi kita semua yaitu : “Jika ada 1000 orang yang membela kebenaran, aku salah seorang diantaranya. Jika ada 100 orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada 10 orang pembela kebenaran, aku tetap ada di barisan itu. Dan jika hanya ada 1 orang yang tetap membela kebenaran, maka akulah orangnya !.”

Janganlah argumentasi dan perjuangan kita di rel yang benar (on the right track) dapat dengan mudah dipatahkan hanya karena alasan pragmatis dan jargon realistis, itu bukanlah mental seorang pejuang !. Karena itu tanamkan terus pola pikir (mindset) serta mental seorang pejuang kedalam implementasi menggapai rezeki, jangan mudah menyerah terhadap keadaan. Ingat, Pelaut ulung tidak lahir dari gelombang laut yang tenang. Hanya mereka yang berani menentang arus, yang akan menemukan jernihnya mata air !...

Sunday, October 05, 2008

IDEALISME ANTI-KORUPSI

Oleh Ruli Mustafa
The LAFIDZI Center

Semangat masyarakat kita dalam menyikapi korupsi tampak dengan maraknya bentuk gerakan anti-korupsi dewasa ini. Malah sangat boleh jadi akan menjadi semacam “ euphoria” massa, Berbagai tipologi korupsi dan manipulasi dana pembangunan, utamanya yang dilakukan oleh oknum aparat negara baik di pusat maupun daerah kian berani diungkap ke permukaan oleh mereka yang menyebut kelompoknya sebagai pihak yang mengatasnamakan masyarakat, meskipun patut dipertanyakan pula “masyarakat” mana yang mereka wakili. Gerakan moral ini tentu saja wajar dan sah-sah saja, terlebih bila kita melihat begitu semangatnya pemerintahan SBY mengusung agenda pemberantasan korups, Berdirinya Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) menjadi badan yang kini “lumayan” ditakuti para koruptor. Para pejabat di jajaran Kejaksaan juga tak kurang “galak” dalam menelusuri dugaan korupsi di berbagai instansi, baik pusat dan daerah. Maka kita melihat semakin banyak pula oknum pejabat yang meringkuk di tahanan kejaksaan, menunggu proses pengadilan. Mudah-mudahan saja hal ini menjadi sinyal positif bagi kesungguhan pemerintahan sekarang untuk secara nyata memberantas korupsi.

Namun disisi lain kita justru seakan kurang tanggap terhadap munculnya gerakan-gerakan masyarakat yang melakukan penentangan terhadap korupsi. Kelompok mahasiswa, para politisi, ormas dan yang ramai adalah berdirinya LSM-LSM yang baru yang begitu bersemangat melakukan pressure terhadap pemerintah, wakil rakyat bahkan kepada para penegak hukum untuk secara cepat mengadili para tersangka koruptor. Ketika reformasi digulirkan di penghujung tahun 90-an, kita menyaksikan “semangat” yang nyaris sama dengan munculnya gerakan anti-korupsi dewasa ini, Ketika dulu, pada awal digelindingkannya isu reformasi, semua pihak tampak tidak ingin ketinggalan untuk bisa disebut sebagai pelopor bahkan pahlawan reformasi, beragam jargon politikpun diusung untuk menegaskan identitas kelompoknya. namun dalam perjalanan waktu tidak jarang sebagian mereka justru menjadi pahlawan kesiangan kalau tak ingin dikatakan malahan mengkhianati cita-cita reformasi. Atau tidak sedikit yang melakukan tindakan “kebablasan” dalam reformasi sehingga yang muncul kemudian adalah tindakan-tindakan di luar kerangka demokratisasi bahkan cenderung anarkis. Seorang tokoh politik dan mantan petinggi negara jiran, Malaysia, bahkan berseloroh bahwa ia tak ingin negerinya seperti Indonesia, yang “sekali bebas, bebas sekali”, sindiran itu bukan basa-basi, tapi barangkali begitulah “tipikal” para politisi, aktivis-aktivis demokrasi kita dalam menyikapi perubahan. Kesan awalnya menggebu-gebu, namun kemudian sulit untuk konsisten dengan idealisme yang diperjuangkannya.

Hidden Agenda
Gelombang yang sama kini melanda isu KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepostisme, sebuah “ikon” negatif yang kini harus berhadapan dengan gerakan moral, yaitu gerakan anti-korupsi, yang kegiatannya sangat diperlukan sebagi bagian dari mekanisme “chek and balance” dalam era reformasi dan demokratisasi. Akan tetapi belakangan kita kurang peduli dengan ada apa sesungguhnya dibalik perjuangan sebuah gerakan anti-korupsi ?, benarkah bahwa mereka bergerak dengan tulus, memperjuangkan idealisme yang mereka cita-citakan sejak awal ?, Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sebuah kecurigaan dan buruk sangka, namun bagian dari kewaspadaan kita selaku anak bangsa, agar lebih mengerti makna sebuah perjuangan menegakkan amanah. Sebab tidak tertutup kemungkinan di tengah hingar bingar kelompok massa menebar pesona sebagai pahlawan anti-korupsi, selalu ada pihak-pihak yang mengail di air, keruh. Memanfaatkan gerakan moral ini sebagai “kuda tunggangan” ambisi politiknya, atau sebagai jalan menuju “balas-dendam politik” karena merasa tidak puas dengan individu atau kelompok lain yang selama ini berseberangan visi dengan pihaknya., atau lebih hina lagi : merasa tidak kebagian “windfall-profit” dengan pihak yang semula adalah kawan politiknya. Aroma demikian begitu kental beredar di masyarakat. Di tingkat pusat, “unfair-play” ini kurang kentara, karena boleh jadi permainan politik yang begitu cantik, namun di daerah-daerah, kecenderungan ini mulai kentara. Gerakan politik dengan agenda terselubung (hidden-agenda) semacam ini mudah dicirikan kehadirannya, mereka melakukan tekanan politik, memelintir hukum, menuduh tanpa disertai dengan bukti yang kuat, hingga melakukan trial by the press dan black propaganda. Tuduhan yang mengarah pada fitnah ini, sungguh sebuah tindakan immoral yang sama buruknya dengan tindakan korupsi yang mereka tuduhkan kepada individu ataupun kelompok. Masyarakat menjadi begitu rentan dibenturkan dengan “trick” politik tertentu, apalagi dengan isu politik terhangat : basmi korupsi !. Maka jangan heran kalau dewasa ini banyak bermunculan organisasi massa yang rajin mencari celah-celah hukum dengan tujuan menjerat lawan-lawan politik mereka untuk kemudian menjatuhkannya.

Menjaga Idealisme
Menghadapi fenomena seperti ini, apa yang semestinya patut kita lakukan?. Sebagai anggota masyarakat yang mendambakan keadilan, sudah sepantasnya kita memiliki keteguhan sikap dan prinsip untuk tidak begitu saja mudah dipengaruhi, diperalat dengan jargon –jargon politik dan tindakan politik praktis yang hanya akan menguntungkan sebagian oknum yang gila jabatan. Dalam gerakan anti-korupsi sekarang ini, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah, pihak mana yang seharusnya kita bela. Jangan lagi memilih pemimpin yang salah, kelompok “maling teriak maling”:

Kesadaran politik masyarakat akan pentingnya memberantas korupsi, jangan sampai melebar menjadi sebuah gerakan yang memiliki potensi untuk berbenturan, baik secara vertikal maupun horisontal. Biarkan proses hukum berlangsung dengan wajar dan efektif. Adalah tak patut melakukan tindakan overshooting (kebablasan) dan over-acting dalam menuduh pihak lain melakukan KKN apalagi sampai melakukan black-propaganda bahkan pemerasan (black-mail) terhadap lawan politik yang ingin kita jatuhkan citranya dengan tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme, tindakan seperti itu bisa membuat para penegak hukum menjadi tidak obyektif dalam memutus suatu perkara korupsi.Memegang teguh asas praduga tak bersalah. Sosialisasi tipologi korupsi harus terus digulirkan kepada anggota masyarakat termasuk untuk menaikkan tingkat kesadaran hukum seluruh rakyat kita. Jangan membodohi masyarakat dengan idealisme semu, yaitu idealisme yang sarat dengan kepentingan golongan. Sebaliknya dengan pihak yang menjadi calon tertuduh sebuah perkara KKN juga jangan seperti orang yang “ kebakaran jenggot” berlaku defensif dan melakukan pembelaan-pembelaan yang “overdosis”, padahal perkara belum digulirkan. Kedua pihak, yakni gerakan anti-korupsi, dan aparat yang “terancam” dijerat dengan kasus tersebut sebaiknya bersikap elegan, wajar dan demokratis. Biarkan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dihadapan hukum semua dari kita mendapat perlakuan yang adil. Tokoh China Deng Xiao Ping pernah berujar : “Kami tidak perduli kucing itu putih atau hitam, yang penting, dia bisa menangkap tikus !”. Kalau saja ungkapan Deng itu ditujukan pada gerakan anti-korupsi dimana saja di dunia ini, barangkali saya lebih memilih biarlah kita lebih memilih “kucing-putih” (gerakan anti korupsi dengan idealisme dan amanah rakyat ) saja yang yang menangkap “sang tikus” (para koruptor), karena “sang kucing hitam” bisa jadi menjadi simbol gerakan yang sarat dengan bayang-bayang hitam politik dan punya hidden agenda , sebuah “pesan sponsor”yang tidak wajar, tidak tulus dan menyesatkan (misleading)!. Sementara di dataran lain rakyat ini butuh keadilan dan penegakan hukum, bukan gerakan-gerakan anarkis yang melakukan “politicking” dengan semangat yang dibayar. Biarkan semua bentuk partisipasi politik masyarakat kembali ke jalur yang benar, jangan ada lagi rekayasa-rekayasa. Jangan ada lagi pemaksaan-pemaksaan politik. Biarkan supremasi hukum dan keadilan terwujud dengan idealisme yang sama, yaitu idealisme sebuah bangsa yang bermartabat. Kalau yang terjadi adalah munculnya kembali gerakan politik praktis yang anarkis dan sarat dengan idealisme semu, maka reformasi dan proses pembelajaran demokrasi menjadi masyarakat menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Dalam setiap gerakan moral, termasuk gerakan anti-korupsi, diperlukan sebuah konsistensi dan perjuangan yang tak lapuk dimakan ambisi kelompok dan hawa nafsu diri sendiri untuk meraih kekuasaan, kita sepakat bahwa tidak mungkin “membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor”. Menjadi “sapu yang bersih “ adalah sebuah idealisme. Menjaga idealisme hakikatnya adalah bagai berangkat ke medan perang yang sulit untuk dimenangkan, karena kita berperang melawan diri-sendiri !.


Friday, September 26, 2008

TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh : Ruli Mustafa
The LAFIDZI Center

Salahsatu aspek penting dalam implementasi kebijakan pembangunan adalah adanya asas transparansi atau keterbukaan. Prasyarat ini adalah mutlak mengingat dalam alam demokrasi saat ini masyarakat berhak mengetahui secara lebih spesifik, konsep dan penerapan kebijakan macam apa yang dapat segera diwujudkan dan sekaligus memberi manfaat yang sebesar-besaranya bagi hajat hidup masyarakat itu sendiri. Karenanya disisi lain ketertutupan aparatur pemerintah dalam memutuskan berbagai kebijakan dalam pembangunan akan berdampak pada kurang efektifnya penerapan kebijakan dan terhambatnya proses pembangunan yang dijalankan. Sehingga boleh jadi ketertutupan justru menimbulkan resistensi di masyarakat. Di tingkat daerah belum lama berselang ada materi kebijakan makro yang menjadi bahan perdebatan, misalnya soal DASK (dokumen anggaran satuan kerja) sebagai bagian tak terpisahkan dari bujet daerah (APBD), banyak pihak menganggap bahwa hal ini perlu disosialisasikan, termasuk dalam ruang debat publik, sehingga masyarakat bisa mengetahui darimana dan kemana anggaran belanja daerah dialokasikan dan bagaimana pendistribusiannya.
Efektifitas Sosialisasi
Sosialisasi kebijakan sebelumnya juga penting guna pengawasan yang lebih baik dan ef
ektif, artinya masyarakat juga akan turut mengawasi. Sosialisasi juga jangan sekadar formalitas dan kerangka kerja saja, penjelasan yang lebih detail pada kenyataannya akan mampu menyumbangkan legitimasi yang lebih kuat dari masyarakat terhadap setiap kegiatan proyek-proyek pembangunan. Orientasi kerja dan kinerja aparatur juga selayaknya harus lebih kepada urgensi kebutuhan masyarakat, ketimbang sekadar formalitas pengalokasikan dana pembangunan/ proyek dalam setiap tahun anggaran untuk proyek-proyek rutin, dalam hal APBD misalnya, selain ada fungsi alokasi, maka fungsi fiskal anggaran tersebut harus optimal. Sehingga aparatur akan lebih luwes lagi mengelola anggaran daerah, yang merupakan hasil optimal dari partisipasi masyarakat. Demikian juga dengan sosialisasi Perda (Peraturan Daerah), harus diumumkan secara jelas dan terbuka, sehingga anggota masyarakat akan merasa “well-informed” dengan kebijakan pemerintah di daerahnya. Selama ini tidak jarang masyarakat kurang mengetahui perda-perda apa saja yang mengakomodir kepentingan yang lebih luas, dan apa saja manfaat perda-perda yang telah dan akan dikeluarkan.
Transparansi dan Good Governance
Dalam hal kebijakan publik ada komitmen terhadap pola kepemerintahan yang baik (good-governance), yang dalam Peraturan Pemerintah No.1/2000 dijelaskan bahwa kepemerintahan yang baik adalah yang mampu mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Pe
merintahan yang bijaksana memiliki arti tidak sekadar mengandalkan legalitas hukum yang dimiliki untuk menjalankan administrasi publik, akan tetapi juga berusaha menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap proses administrasi dan hasil-hasil pembangunan yang dicapai (Nisjar dalam Sedarmajanti, 2004). Dengan dermikian transparansi adalah suatu prinsip atau karakteristik dalam mengembangkan sistim kepemerintahan yang baik.
Debat Akademis

Budaya transparansi memang relatif baru bagi kita, meskipun di negara-negara yang menganut faham demokrasi hal demikian tidaklah tabu. Soal bagaimana proses pembelajaran seluruh lapisan masyarakat, khususnya aparatur pemerintahan dalam mewujudkan transparansi kebijakan publik, semestinya dimulai dari aparatur pemerintahan sendiri, atau peran proaktif para wakil rakyat.di DPR maupun DPRD. Sementara itu dikalangan akademisi harus dibiasakan untuk secara terbuka dan sportif men
diskusikan bagian-bagian dari kebijakan pemerintahan, terutama yang langsung menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalkan soal pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan, subsidi, kenaikan BBM, dana kompensasi dan lain sebagainya. Adanya argumentasi akademik dari dasar pengambilan keputusan yang didiskusikan secara terbuka, baik melalui saluran media massa ataupun seminar-seminar, akhirnya akan menjadi sebuah tradisi akademis yang sangat bermanfaat, sehingga implementasi kebijakan tidak melulu menjadi polemik yang menimbulkan pertentangan politik yang tak berujung di kemudian hari.
Pentingnya Informasi Data
Transparansi atau keterbukaan memerlukan pula data-data yang lengkap, dan ini juga merupakan tugas pihak-pihak yang kompeten untuk itu, disisi pemerintah misalnya ada Badan-badan yang berwewenang mempublikasikan data-data baku seperti BPS (Badan Pusat Statistik) atau Bapeda serta instansi resmi lainnya yang memiliki otoritas untuk itu. Adakalanya data-data pembangunan tidak secara lengkap disajikan dengan berbagai alasan kendala teknis, padahal semestinya data-data dan informasi baku harus lebih cepat disosialisasikan dengan kesenjangan waktu (time-gap) yang tidak terlalu lama. Dalam hal ini kita memang jauh tertinggal dari negara-negara industri maju dalam hal kecepatan merilis data-data pembangunan mutakhir, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pentingnya data ini dapat menghindarkan situasi informasi yang asimetrik (assymetric information), dimana terjadinya ketimpangan informasi antara aparatur dengan masyarakat. Iklim demikian menjadi tidak sehat bagi proses demokratisasi dan mungkin saja akan membuka celah untuk terjadinya korupsi, kolusi dan manipulasi. Untuk mengoreksinya, lembaga otoritas harus membuat peraturan keterbukaan informasi. Tidak jarang bahwa kegagalan atau kelalaian menyampaikan informasi yang lengkap dapat digolongkan sebagai tindakan pidana, dengan hukuman kurungan, denda ataupun sanksi administratif . Akankah kita siap untuk lebih mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dalam pembangunan kedepan ?, jawabannya tentu ada pada seberapa besar rasa tanggungjawab dan komitmen para pemimpin dan elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah atas janji-janji politiknya terhadap rakyat,

EKONOMI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF

Oleh Ruli Alqodri Mustafa,
Akademisi alumnus FEUI

Jika orang bicara soal pendidikan seringkali yang ada di benak kita adalah gedung sekolah, guru/pendidik dan kurikulum yang telah ditentukan, belum lagi persoalan biaya yang tidak sedikit. Namun kita tahu bahwa filosofi pendidikan tidaklah sesedehana itu, karena pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran seumur hidup (long life education), artinya proses pendidikan belumlah selesai saat sekolah formal selesai, manusia dituntut terus beradaptasi dengan perubahan dan pembaharuan. Dengan kata lain pendidikan adalah proses “pemanusiaan” pada manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Disamping itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama seluruh anggota masyarakat, jadi ada jaringan keterlibatan diantara lingkungan keluarga, masyarakat dan negara. Dari scope penddidikan yang sangat luas itu, tulisan ini sebatas berupaya melihat pendidikan dalam perspektif ekonomi semata.

Human Capital
Peranan pendidikan atau bahasa teknisnya-modal manusia- atau human capital terhadap pertumbuhan ekonomi memang relatif baru dalam khazanah ekonomi makro. Teori pertumbuhan neo-klasik standar dari Solow (1956) misalnya, belum mampu menjelaskan mengapa sering terjadi kesenjangan pendapatan (income gap) antarnegara didunia, padahal pertumbuhan ekonomi disisi lain terus meningkat. Baru ketika variabel modal manusia dimasukkan dalam perhitungan ekonomi, dimulailah penjelasan tentang adanya kesenjangan tersebut. Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas pekerja. Jika produktifitas pekerja meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Kenaikan produktifitas berarti kenaikan penghasilan yang pada gilirannya secara agregatif akan mengangkat kesejahteraan masyarakat, utamanya kelompok miskin. Namun persoalan kemudian timbul; ternyata asumsi pendidikan akan menaikkan produktifitas dan pendapatan tidak serta merta bisa digeneralisasi, apa pasal ?. Sejumlah studi mengenai keterkaitan diantara pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan disejumlah negara menemukan kenyataan yang berbeda-beda, utamanya mengenai perubahan signifikan pendidikan terhadap produktifitas. Studi yang dilakukan oleh Foster dan Rosenzweig (1995) yang mengkaji dampak pendidikan terhadap petani di India sedikit banyak menjelaskan hal ini. Dalam studi tersebut ada perbedaan signifikan antara petani dengan pendidikan dasar dengan mereka yang tak pernah sekolah. Namun persoalan berbeda saat menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Di daerah tertentu yang kondisi alam dan geografis buruk misalnya, ternyata produktifitas lebih ditentukan justru dari pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani ditempat-tempat seperti itu, pergi ke sekolah selain kurang bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah. Dalam persoalan ini orang bisa berargumentasi; bukankah dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial, artinya dengan bekal pendidikan, tak harus orang selalu bekerja di satu sektor saja atau konkritnya bisa masuk ke sektor industri moderen atau high-tech misalnya. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa langkah untuk melakukan mobilitas sosial kadang terhambat oleh faktor-faktor geografis dan budaya termasuk kedalamnya isu KKN yang telah mengakar seperti halnya di Indonesia.

Penajaman Mutu dan PLS
Dengan melihat studi-studi terkini tentang manfaat ekonomis dari pendidikan di berbagai negara, tentu terlalu naif jika kita menyimpulkan kebenaran dari hanya satu-dua kesimpulan studi, namun hal itu harus kembali menggali faktor-faktor yang cocok (matching) dengan lingkungan kedaerahan serta pendekatan multidimensi sebelum memutuskan memberikan apa yang terbaik bagi pembangunan di sektor pendidikan, khususnya di daerah-daerah di Indonesia. Artinya kalau selama ini kita menyaksikan keterpurukan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun, jangan terlalu terburu-buru menyimpulkan bahwa itu diakibatkan oleh kurangnya anggaran bagi pendidikan, kemudian orang bicara soal alokasi dana yang lebih besar di sektor ini, keringanan bahkan penggratisan biaya pendidikan menengah dan tinggi, block-grant dan lain sebagainya. Padahal kontribusi dan manfaat dari output di unit-unit pendidikan formal yang didanai tak pernah tersentuh oleh penelitian yang komprehensif, apakah outputnya mendongkrak gdp/capita,statik atau bahkan menurun ?. Maka tak salah jika ada anggapan bahwa sering terjadi blunder (kesalahan langkah) dalam menentukan garis kebijakan sektor pendidikan, utamanya di negara-negara berkembang. Oleh sebab itulah dalam kaitan dengan persoalan ini, saya cenderung lebih concern dengan penajaman mutu dan akselerasi pendidikan luar sekolah (PLS, atau informal education) yang adaptif dengan pasar tenaga kerja (labor market) dibandingkan misalnya memaksakan diri untuk menggratiskan biaya pendidikan menengah hingga tinggi tanpa meneliti dampaknya terhadap ekonomi masyarakat. Kedua hal ini-PLS dan penajaman mutu- dalam pelbagai kajian kenyataannya lebih cepat untuk menaikkan produktifitas, membuka peluang kerja baru yang pada gilirannya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Oleh sebab itulah selayaknya peningkatan anggaran pendidikan juga lebih memperhatikan dua hal tersebut, tidak semata sekolah formal yang konsepnya lebih populis. Karenanya PLS, baik yang bersifat suplemen, seperti kursus, BLK (balai latihan kerja), pondok pesantren termasuk pengajian-pengajian yang marak dewasa ini maupun PLS komplemen dan sustitusi semisal kepramukaan atau program Kejar-Paket A dan B harus semakin diperhatikan eksistensinya. Dalam kajian ekonomi pendidikan. Peran PLS sebagai human-investment sangat menguntungkan dibandingkan dengan pendidikan persekolahan yang terlalu bercorak akademis dan penyamarataan program. Penelitian BP3K (Suryadi dalam Darusman, 2005) melihat bahwa kontribusi PLS jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan persekolahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Output PLS banyak menghasilkan padat karya dan padat usaha, yang pada gilirannya menghasilkan padat kesejahteraan.

Tepat dan Berhasil Guna
Sebuah perspektif moral dari literatur tentang manfaat ekonomi dari pendidikan adalah bahwa jalur pendidikan, baik formal dan informal sebaiknya mengacu pada pendekatan multidimensi yang menyeluruh (comprehensive) tentang perilaku modal manusia, faktor geografis, bawaan (endowment-factors) sebelum menentukan garis kebijakan yang tepat di sektor pendidikan, jangan lagi melakukan blunder, seperti terjadi dimasa lalu, dimana terlampau percaya dan “memanjakan” perndidikan formal dengan anggaran lebih, namun kenyataannya manfaat riil dari output pendidikan formal tertentu tak kunjung tampak, sebaliknya ledakan lulusan pendidikan tinggi semakin menambah deretan pengangguran terdidik hingga membebani perekonomian nasional. Jangan lagi kita terjebak pada proyek-proyek pendidikan populis atau proyek high-tech yang sekedar “mercusuar”, padahal input biaya triliunan-rupiah dihabiskan tanpa menghasilkan output produktif, jadi yang penting adalah mengedepankan program pendidikan yang tepat guna dan berhasil guna. Akhirnya sebuah kesimpulan kajian dengan sangat baik dipaparkan oleh Ekonom Ari A. Perdana dari Harvard University AS, 2005 dalam risalahnya tentang pendidikan dan pertumbuhan ekonomi; bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.